Jalan - Jalan ke Bajawa (Flores)
Menantang Dinginnya
BAJAWA
Hasil bumi melimpah, alam nan elok, tradisi lestari,
ditimpali keramahan penduduk: berkah bagi
sebuah kota mungil di Flores yang hari-harinya senantiasa terselimuti kabut.
SATU HAL BAIK tentang musik adalah ketika ia menyinggahimu, seketika itu pula rasa sakitmu hilang. Demikianlah kalimat
yang terbaca dari punggung kaos seorang pemuda berambut gimbal saat
saya menggigil masuk ke Lucas’ Café & Resto. Saya tersenyum kepada
kaos bertuliskan kata-kata indah itu, entah kebetulan atau tidak,
petikan kalimat raja reaggae Bob Marley tersebut rasanya ditujukan
untukku. Maklum, badan saya remuk redam setelah seharian bersepeda
sendirian dari Riung. Pegal, jelas. Di atas kertas tertulis jarak
Riung-Bajawa ‘sekedar’ 76 km, yang saya duga sebelumnya akan sanggup
saya tempuh maksimal satu setengah jam. Nyatanya, alamak, malah jadi dua
kali lipat melampaui waktu estimasiku.
Perjalanan
yang melelahkan, bisa dikatakan begitu. Di satu sisi harus kuakui bahwa
saya sangat menikmatinya pula. Dan setelah membaca tulisan dari
punggung kaos pemuda barusan, ditambah secangkir kopi hangat di depanku, dan tentu saja musik, maka rasa sakitku pun menguap. Siluet lubang-lubang menganga sepanjang jalan berliku dari
Riung ke Bajawa beserta tebaran kerikil yang berhasil
menumbang-jatuhkanku di atas aspal dengan bonus dua luka goresan di
dengkul berubah sensasional, seolah-olah hal yang saya alami itu
merupakan salah satu adegan film Motorcycle Diaries; konyol namun heroik dengan bumbu lansekap yang eksotis.
LAYAR PONSELKU menunjukkan angka 19:45 , petang yang amat dingin di Bajawa, ibukota kabupaten Ngada, Flores. Sebagai kota yang terletak di ketinggian lebih dari 1.000 meter dari permukaan laut dan di kelilingi bukit serta gunung, hari-hari di Bajawa adalah kehidupan yang bergerak menyusup di balik percintaan antara dingin dan kabut. Untungnya
di Lucas’ Café & Resto saya memperoleh kehangatan. Selain dari kopi
dan disusul sup sayurannya, rasa hangat pun turut diciptakan oleh
arsitektur restoran yang sebagian besar berbahan alami.
Dinding
kayu, lantai kayu, dan ornamen- ornamen ringan bernuansa etnis.
Beberapa iklan akomodasi serta jasa pariwisata seantero Flores mudah
ditemukan disini. Restoran ini terletak berseberangan dengan hotel
Edelweiss tempatku menginap, menjadi semacam treffpunk
para turis. Mungkin disebabkan letaknya yang strategis, atau gara-gara
bangunan berbahan kayunya yang menarik untuk disinggahi, atau karena
dialah satu-satunya restoran yang terkesan ‘disiapkan khusus’ menjamu
wisatawan. Apapun itu, jelas restoran imut ini membantu mengendorkan
saraf sebelum petualangan saya hari berikutnya.
Dinding
kayu, lantai kayu, dan ornamen- ornamen ringan bernuansa etnis.
Beberapa iklan akomodasi serta jasa pariwisata seantero Flores mudah
ditemukan disini. Restoran ini terletak berseberangan dengan hotel
Edelweiss tempatku menginap, menjadi semacam treffpunk
para turis. Mungkin disebabkan letaknya yang strategis, atau gara-gara
bangunan berbahan kayunya yang menarik untuk disinggahi, atau karena
dialah satu-satunya restoran yang terkesan ‘disiapkan khusus’ menjamu
wisatawan. Apapun itu, jelas restoran imut ini membantu mengendorkan
saraf sebelum petualangan saya hari berikutnya.
Saya
mengeluarkan sehelai kertas dari saku ransel. Kertas berlipat-lipat
yang telah saya selipkan sebelum meninggalkan rumah. Disitu tergores
rencana tripku di Bajawa. Meski hanya oret-oretan tanpa keterangan
detail, namun saya butuh itu demi mempertegas visi. Saya tidak membawa
buku panduan apa pun.
Dalam
kertas oretanku, terdapat empat lokasi di sekitar Bajawa yang memikat
saya: Kampung tradisional Bena, air terjun Ogi, kawah vulkanis Wawomuda,
dan pemandian air panas Manggeruda. “Bena is awesome, its picture looks like Machu Piccu. The hot spring Manggeruda was extreme hot for me, but yeah..you should try,” tukas Janice Yeoh, turis asal Korea yang duduk di sebelahku. Kami bercakap akrab. “And how about Wawomuda crater and Ogi waterfall?” serga saya tiba-tiba, seolah baru saja menemukan satu peta wisata di mata belonya. “Oh, I never heard about Ogi. And Wowumuda…mmm..I have no idea yet, I plan to visit this place tomorrow”
balasnya tersipu. Antusiasmeku separu terbentur. Ya, hanya separu,
sebab mungkin ini pertanda baik, ada kesempatan mengajaknya pergi
bersama. Seperti demam yang kini melanda bebagian besar orang Indonesia,
saya pun lagi suka-sukanya nonton film Korea. Nah, sekarang ada cewek
Korea, meski bukan Han Ga In tapi sebandinglah cantiknya. Saya tak butuh
terbang jauh-jauh ke Korea kan?


JANICE
tertarik dengan ajakanku untuk pergi bersama. Bak memperoleh tambahan
nutrisi, saya sigap menjemputnya pagi-pagi di tempat penginapannya,
biara susteran Karmel. Padahal dingin bukan main. Kami sepakat mendaki
Wawomuda pagi ini. Bajawa hanyalah kota kecil, tak butuh banyak waktu
untuk mengenali pembagian tata ruang kota yang pada mulanya
dikembangakan Belanda di tahun 1915 sebagai kawasan rehat bagi
petinggi-petingginya ini. Sebelum singgah di biara susteran Karmel, saya
melewati beberapa rumah tua bernuansa kolonial. Rata-rata tak begitu
diperhatikan, padahal jika dibersihkan saja, dicat baru, rumah-rumah
demikian bisa jadi aset wisata sekaligus memberi warna sejarah bagi
Bajawa.
Sejengkal
keluar dari pusat kota, kami langsung tenggelam dalam senyap pagi
jalan. Jemari tanganku kaku menggenggam setang sepeda motor, lagi-lagi
karena dingin yang menusuk. Lampu sepeda motor turut saya nyalahkan
karena kabut mengaburkan pandangan. Untuk mencapai Wawomuda kami
melewati kampung Booripo menyusul kampung Watujaji dengan satu lagi
biara Karmel berdinding merah. Biara yang satu ini dihuni bukan oleh
para suster melainkan para calon pastor, isinya laki-laki saja.
Laiknya
kota-kota di seantero Flores, Bajawa pun jadi basis tempat tinggal
biarawan-biarawati Katolik. Janice mengaku, di Flores, ia sengaja
memilih menginap di biara. Bukan lantaran dia Katolik, tapi karena ia
menyukai atmosfer dalam biara yang teramat tenang, kontemplatif dan
syahdu. Janice juga bilang, hampir semua biara di Flores memiliki
sentuhan Eropa, jika bukan dari arsitektur, maka penataan bangunan serta
sistem kesehariannya memakai standar Belanda atau Jerman.
Kami
berpapasan dengan warga yang setiap kali bertemu muka selalu
menyungging senyum dan menganggukan kepala. Dengan gaya sarkasme Janice
berujar bahwa Tuhan itu gila, menciptakan hal-hal kontras. ”Jiwa
orang-orang Flores ternyata berseberangan dengan tampang mereka yang
sangar. Sekali mereka tersenyum, kita langsung kehilangan neraka.” Saya
mengangguk, tersenyum karena rasa gelitik dari ucapannya . Di lain
tempat orang menghambur-hamburkan uang untuk tampil memikat, lupa bahwa
seulas senyuman adalah cara paling murah mengubah penampilan. Penduduk
pedesaan memiliki cara paling murah tersebut, dan lucunya mereka tak
sadar itu harta, menebar gratis senyumnya. Tuhan memang gila.
MESKI CUMA
sekitar enam kilometer dari pusat kota Bajawa dan keadaan aspalnya
mulus, jalur menujuh kawah Wawomuda awalnya agak membingungkan. Setelah
melalui gapura bertuliskan ucapan selamat datang ke kampung Wawomuda
dalam bahasa Inggris, tak ada lagi petunjuk ke arah mana harus bergerak.
Tak ada seorang pun untuk dimintai petunjuk atau minimal papan-papan
kecil dengan tulisan semisal “ ± 1 km ke kawah” atau “ belok disini.”
Jalanan
yang semula aspal, menyempit jadi setapak. Dalam rupa yang sama antara
satu setapak dengan setapak yang lain, kami harus menebak yang manakah
akan kami pilih. Dalam keadaan demikian, ternyata cara agar tak tersesat
adalah memberanikan diri untuk tersesat terlebih dahulu. Andalan saya
semata intuisi: kawah selalu berada di atas ketinggian di balik gunung,
sehingga kalau ada jalan setapak mendaki maka itulah yang harus saya
ikuti.
Kami
menemukan arah yang benar. Ketika baru memulai beberapa meter ke kiri
pada arah yang benar itu, saya mematikan mesin sepeda motor. Janice
sigap melompat turun dari boncengan. Bukan karena setapak itu rusak tapi
karena di samping kami terbentang pemandangan yang menggiurkan.
Kami
berada di tempat terbaik untuk memandang kota Bajawa dari ketinggian.
Dan coba tebak, kota kecil ini masih terbuntal kabut, padahal langit
sudah membiru dan matahari terang benderang. Kami mengulur waktu hingga
kabut menampakan wajah kota. Kurang lebih empat menara berwarna belang
merah-putih milik sebuah perusahan profider selular menjadi bangunan
tertinggi di Bajawa, sedangkan gereja katedral adalah gedung yang paling
cepat dikenali. Namun yang membuat gambaran menawan pagi ini mengenai
Bajawa bukanlah bangunan tinggi rancangan manusia itu, melainkan
keanggunan gunung Inerie yang berdiri tepat di sisi kanan. Saya menyukai
bentuk kerucut dengan sedikit ketidaksempurnaan di puncaknya.
Setelah
rehat sejenak itu, kami lanjut menapaki bukit. Sekitar lima belas
menit, jenis tetumbuhan berganti rupa. Dari rumput dan tanaman
perkebunan berubah menjadi semak serta pepohonan khas
dataran tinggi seperti pohon runjung dan ekaliptus. Kontur tanah rapuh,
keadaan yang mau tak mau memaksa kami untuk memarkir sepeda motor
lantas memutuskan untuk trekking saja.
Hebat, dengan berjalan kaki seperti inilah saya bisa merasakan
keajaiban-keajaiban kecil dari alam. Contohnya, tetumbuhan alang
setinggi mata kaki yang bulir-bulirnya memutih termahkotai embun. Di
mataku mereka tiba-tiba tampak bak pucuk bunga Edelweiss di pegunungan
Alpen yang tersirami salju pertama musim dingin. Lenguhan kawanan sapi
cokelat, cicit burung, dan wangi dedaunan pinus liar turut memberi
kesan. Suasana begitu tenang, teduh menyegarkan. Dua lereng bukit kami
sisiri, seperti huruf ‘S’ kira-kira formasi perjalanan kami sejak
memutuskan ber-trekking. Janice mengartikan formasi ‘S’ itu dengan ‘Searching’. Boleh juga.
Tiba
di bukit kedua, kami melongok ke dalam cekungan. Saya melempar
pandangan ke rimbunan pinus, di saat bersamaan itu Janice berteriak
kencang, “ here.., the craters are down here!!”
Kawah
Wawomuda berbentuk bak kubangan lumpur. Kawah-kawah yang semula
berwarna merah darah itu sekarang berubah cokelat susu. Yang awalnya
empat kawah kini tersisa dua. Bau belerang samar
saja terendus, bau itu berhasil dikalahkan oleh aroma pinus yang
pohonnya tumbuh jangkung-jangkung. Bila di awal menjelang pendakian kami
menikmati kota Bajawa dengan gunung Inerie, disini kami mendapati kawah
Wawomuda bernaung bayangan gunung Ebulobo nun jauh. Janice ingin lebih
lama berada disini, saya mengatakan bahwa kami masih memiliki satu
target lagi untuk didatangi bersama, yakni air terjun Ogi. Maka kami
kembali menuruni bukit, mengitari lereng, membentuk hurus ‘S’ lagi.
Sekarang kira-kira apa makna ‘S’ itu? Janice membentang kedua tangannya, menghirup udara dalam- dalam dan mengembuskannya. “Now, S refers to Satisfied.’
MENUJUH AIR TERJUN
Ogi, kami harus balik lagi ke kota, saya menganggap perjalanan ini
bakalan enteng sebab jalan tak lagi mendaki. Semalam, dari karyawan
hotel Edelweiss saya diberitahu, jika hendak ke air terjun Ogi, turuti
saja lintasan ke arah pom bensin (SPBU). Karena itu satu-satunya SPBU di
kota Bajawa, tak susah menemukannya.
Sesampainya
di desa Ogi yang hanya berjarak 5 km dari pusat kota, lagi-lagi kasus
ketidakadaan petunjuk menujuh obyek air terjun terulang. Untungnya,
kampung seimut Ogi cukup hidup oleh lalu-lalang petani. Air terjun yang
kami cari malah seperti ‘gajah di pelupuk mata yang tak tampak.’ Aneh,
lokasinya berdekatan dengan bibir jalan tapi tak diberi tanda apa-apa.
Sepeda
motor kemudian saya lajukan pelan-pelan melewati persawahan. Hijaunya
rimbunan padi menjadi pengantar menujuh air terjun, sesekali
capung-capung melintas tepat di depan mata. Janice mendendangkan lagu
bernada riang, katanya itu adalah lagu tradisioanal Korea yang berkisah
tentang kelincahan capung. Para petualang itu, kata orang Korea, ibarat
capung. Bergerak cepat dan sigap, mencari tempat-tempat indah, bermata
jeli dan bertubuh ramping.
S
esudah
memarkir sepeda motor, kami berjalan kaki sejauh seratus meter untuk
mencapai air terjun Ogi. Tempatnya sama sekali tidak tersembunyi. Saya
mendengar gemuruh jatuhnya air dan tak menghiraukan gongongan anjing
dari dua-tiga rumah di bibir air terjun.
esudah
memarkir sepeda motor, kami berjalan kaki sejauh seratus meter untuk
mencapai air terjun Ogi. Tempatnya sama sekali tidak tersembunyi. Saya
mendengar gemuruh jatuhnya air dan tak menghiraukan gongongan anjing
dari dua-tiga rumah di bibir air terjun.
Volume
air yang jatuh dari tebing ternyata lumayan banyak. Hempasannya pun
keras sehingga saya tak membawa kamera dekat-dekat. Bebatuan menghiasi
aliran air, rumput-rumput hijau muda menempeli tanah. Saya tak habis
pikir, dengan jarak sangat dekat dengan pusat kota, air terjun ini
seharusnya lebih dioptimalkan. Kabupaten Ngada bisa dibilang salah satu
kabupaten dengan hasil alam terkaya di Flores, pendapatan daerah pasti
tak kecil. Mestinya ada perhatian untuk tempat-tempat indah seperti ini.
Tidak harus dengan fasilitas hebat, dari hal yang kecil saja, contohnya
pemasangan petunjuk arah ke obyek-obyek wisata, cukuplah. Lambat laun
dengan seringnya pengunjung berdatangan, bisa pula memberi dampak
ekonomi bagi warga sekitar. Saya tak ingin bertanya kemana larinya uang
serta kepercayaan rakyat, toh satu kalimat dari P.J. O’Rourke sudah bisa
menjawab tanya itu: Giving money and power to government is like giving whiskey and car keys to teenage boys.
Saya
dan Janice berdiskusi banyak hal. Tentang pengalaman-pengalaman kami
mengunjungi berbagai negara, tentang perbandingan ekonomi sosial politik
negara Korea Selatan dan Indonesia, tentang hal-hal lucu dan unik
mengenai manusia, tak lupa tentang budaya pop Korea. Sampai akhirnya
berakhir pada harapan-harapan baik untuk kehidupan kami selanjutnya,
seperti harapan baik bagi petualangan Janice berikutnya ke wilayah barat
Flores. Saya mengantar Janice ke terminal bus Ende-Ruteng, setelah kami
makan siang bersama. Saya menyukai ke-Koreaan Janice, juga lelucon
sarkatisnya. Tapi begitulah namanya perjalanan, bergulir sebagaimana
hidup itu sendiri, hari ini saya semeja dengan orang asing, besok orang
asing itu menjadi teman, sehari berselang teman itu pergi, dan saya
mungkin akan semeja lagi dengan orang asing baru. Every goodbye makes the next hello closer, dude. Kok saya ikutan sarkatis?
SEBENARNYA
saya mengantuk, tapi sebuah plang hijau mengenyahkan hasrat tidur
siangku. Di dekat terminal bus Ende-Ruteng itulah kali pertama saya
menemukan petunjuk arah menujuh obyek wisata. Kali ini tentu kantukku
mendapat pukulan TKO karena pada plang tertulis jelas satu tempat
impianku: Bena.
Baru
15 menit menderukan sepeda motor, saya terpikat pada satu tatanan
perumahan tradisonal kampung Langa. Keadaan lokasinya lengang saat saya
tiba. Rumah huni berbentuk panggung rendah berdiri berhadap-hadapan. Di
halaman tengahnya tertanam batu-batu megalit dan pondok mirip
rumah-rumahan. Formasi kampung tradisional Bajawa membentuk huruf ‘U’.
Saya yakin, kalau Janice masih bersama saya, dia pasti punya tafsiran
tentang formasi ‘U’ ini.
Sekonyong-konyong
muncul seorang lelaki tua dari rumah panggung. “Selamat siang, bapa,”
sapaku. Ia mendekat dan kami berjabatan tangan. Gurat-gurat keriput pada
kulitnya amat jelas, ia sudah berangsur ringkih.
“Mari, nak. Kita ke rumah saja,” lelaki tua itu memecah kebisuan kami.
Sudah tengah hari, matahari cukup terik. Saya menuruti ajakannya. Begitu
menghempaskan tubuh di atas panggung rumah kayunya, semilir angin
datang merambat. Wah, mata saya langsung gloomy dan ingin sekali merebahkan diri.
Lelaki
tua itu bernama Zakarias. “Bapa tinggal berdua saja disini dengan
istri. Kami tidak punya anak.” Seolah tahu pertanyaan yang hendak
kuajukan padanya. Saya memang merasa rumah ini terlingkupi keheningan
yang teramat lama. “Terus tetangga-tetangganya kemana?”
“Ke
kebun. Yang tinggal di kampung begini, biasanya orang tua saja.
Anak-anak muda merantau semua.” Merantau? Di Bajawa yang kaya hasil bumi
ini anak-anak mudanya masih ingin merantau? “Jaman sekarang, anak muda
mana yang mau tinggal di rumah kayu seperti ini,” timpalnya. Lagi-lagi
ia telah menjawab pertanyaan sebelum kuajukan. Pak Zakarias seperti
mampu membaca pikiranku. “Tapi kampung kami akan ramai di bulan Januari
tiap tahun”.
“Benar.
Tapi kami juga punya perayaan Tahun Baru sendiri disini. Adat kami
merayakan Tahun Baru setiap tanggal 15 Januari, bukan tanggal 1
Januari.” Saya terhenyak, mereka punya penanggalan sendiri? Pak Zakarias
lantas mengurai cerita tentang apa saja yang dilakukan orang kampungnya
saat merayakan Tahun Baru ala mereka. Orang-orang disini akan menari
sepanjang hari mengunjungi satu kampung ke kampung lain. Acara
tari-tarian ini dinamakan Menari Owi, menari secara massal.
Pak
Zakarias memberitahuku bahwa suku-suku di sekitar Bajawa menganut
sistem matrialkal, dimana pihak perempuanlah yang memegang tampuk
tertinggi dalam klan. Perkawinan dilakukan berdasarkan garis kekerabatan
pihak ibu. Klan baru terbentuk dari perkawinan kekerabatan ini. Setiap
pembentukan klan ditandai dengan pendirian simbol keluarga pria dan
wanita. Simbol diwujudkan dalam rupa rumah mini dan rumah payung. Rumah
mini disebut Bagha mereprentasikan keluarga wanita, sedangkan rumah payung atau Ngadhu
mewakili keluarga pria. Atap-atap rumah hunian para warga, pada bagian
tengahnya terpasang pula ornamen. Atap rumah keluarga pria, Sakapu’u, terdapat ornamen patung pria mirip boneka, atap rumah keluarga wanita, Sakalobo,
dipasang lagi model rumah super mini. Pesta adat di Bajawa selalu
mengorbankan ternak, yang paling sering adalah kerbau dan babi. Tanduk
kerbau di pajang di dekat pintu rumah, gerahamnya disangkutkan di salah
satu kisi-kisi rumah.
Rasanya
betah berlama-lama di rumah Pak Zakarias. Meski kerongkongan kami hanya
tersegarkan segelas air putih, saya merasakan keramahan bersahaja.
Tanpa sekat. Pembicaraan kami seolah percakapan antara seorang kakek
dengan cucunya yang dipenuhi rasa ingin tahu. Saya pun pamitan. Pak
Zakarias malahan melepas kepergian saya sampai di mulut kampung.
“Datanglah lagi bulan Januari, menginap di rumah kami, ” seruhnya. Tak ada alasan bagi saya untuk tak terharu.
KEMBALI SAYA MELAJU,
jalanan menurun berkelok. Saya melewati sebuah jalur sepanjang hampir 2
km penuh bambu dengan batang-batangnya hampir sebesar paha. Rindang
menutupi langit. Kala saya keluar dari naungan jalur bambu itu, di depan
mata saya langsung terhidang pemandangan gunung Inerie. Begitu dekat,
tinggi membuncah luar biasa gagahnya. Rute menjadi lurus dan sepertinya
diarahkan tepat ke inti gunung.
Mendekati
kaki gunung Inerie, jalan berbelok ke kiri. Tiba di tikungan pertama,
mataku menangkap satu papan hitam kecil di sudut dengan tulisan semacam
undangan mampir. Kampung tradisional Luba namanya. Saya penasaran untuk
singgah, ditambah rasa belum puas karena rumah-rumah di kampung
tradisional Langa, kampung Pak Zakarias tadi, seperempatnya sudah
beratap seng bahkan ada yang berlantai keramik.
Kampung
Luba benar-benar menjawab keinginannku. Datang kesini seolah menemukan
sebuah tempat rahasia, ia tersembunyi. Kelihatan bahwa belum lama
dipugar. Atap semua rumah dari alang-alang. Hening, jauh dari ribut
gaduh. Saya mengitari halaman tengah, tak bisa lama walau saya sungguh
menyenanginya. Mengingat tujuan utama saya adalah Bena, maka saya pun
meninggalkannya. Untuk ke Bena saya mengikuti jalur yang sama, tanpa
harus kembali ke jalan raya. Hanya perlu setengah kilometer menuruni
bukit dengan pelan.
Dan
oh, Bena memang kampung yang indah. Janice benar, jika kita datang dari
atas maka kampung tradisional ini kelihatan mirip Machu Pichu. Terletak
di kemiringan, bagaikan tingkat-tingkat sawah. Masuk
ke kawasan yang menjadi maskot Bajawa ini harus terlebih dahulu mengisi
buku tamu. Khusus untuk Bena, satu fakta baik adalah sudah terbentuknya
kelompok sadar wisata yang pelakunya tak lain warga Bena sendiri.
Secara bergiliran, warga dibagi dalam grup-grup kecil untuk mengawasi
keamanan, kebersihan dan keteraturan kampung. Donasi pengunjung, yang
bersifat sukarela, dipakai untuk perbaikan-perbaikan bangunan yang rusak
serta demi penataan lingkungan. Untuk sistem eco-tourism
seperti ini patutlah diancungi jempol. Keterlibatan para warga artinya
meletakan tanggung jawab kelestarian kampung tradisional pada tangan
yang bersentuhan langsung. Disini mereka terlibat aktif, mampu swadaya,
tak cuma jadi penonton atau menunggu bantuan. Apa yang dilakukan di Bena
ini tampaknya harus ditiru oleh tempat-tempat lain di Flores. Pulau
yang memiliki keelokan tak terperihkan, tapi penduduknya selama ini
bertindak sebagai penonton atau obyek tontonan semata.
SATU TUJUAN
terakhir adalah pemandian air panas Manggeruda. Tepatnya di Soa. Saya
pernah kesana sebelumnya, tapi sudah lama sekali. Hampir lima belas
tahun silam sewaktu pamanku berdiam di sekitar lokasi itu. Jadi,
gambaran tentang pemandian air panas nyaris tak berbekas lagi di
benakku.
Soa
pun dekat saja dari pusat kota, 18km, dan saya merasa kecolongan begitu
melintasi jalan ke arah sana. Masalahnya, kemarin dari Riung saya
melewati jalan yang sama ini juga. Satu-satunya alasan kenapa saya tak
memperhatikannya kemarin mungkin disebabkan papan petunjuk yang
membelakangi arahku.
Kompleks
pemandian air panas Manggeruda boleh dibilang telah tertata. Warga
lokal membanjiri tempat ini. Airnya tak suam-suam kuku seperti yang saya
bayangkan, tapi benar-benar panas. Beberapa pengunjung terlihat merebus
telur. “Cukup lama, tapi kami toh bisa berendam selagi menunggunya
matang,” ujar seorang ibu menanggapi pertanyaanku perihal aksi
‘perebusan alamiah’ itu. Ia juga memberiku tip mandi nyaman di pemandian
ini. Bahwasanya celupan tubuh pertama umumnya terasa sungguh menyengat,
namun bertahanlah untuk tetap dalam air sampai suhu tubuh beradaptasi
dengan suhu air. Saya tergiur tip sang ibu. Kebetulan, dari kemarin saya
belum mandi karena dinginnya air di hotel.
Karena seorang filsuf pernah berujar, nikmatilah selagi kamu bisa menikmati, menderitalah sewaktu kamu harus menderita,
maka saya tak peduli betapa petang telah membayang. Saya siap menggigil
kedinginan nanti asalkan merasakan kehangatan air saat ini. Saya ingin
menyingkirkan debu perjalanan, meresapi pesona tiap tempat yang baru
saya kunjungi. Apalagi sekelompok pemuda, dengan gambus kayu menemani
saya seraya mendendangkan lagu-lagu daerah. Musik memang membuat rasa
sakit hilang, saya merenungkannya disini, di Bajawa, sebuah tempat yang
kehidupannya bergerak menyusup di balik percintaan antara dingin dan
kabut.
SUMBER : http://anakflores.blogspot.com/2011/09/jalan-jalan-ke-bajawa-flores.html


Tidak ada komentar:
Posting Komentar